[Urip Mung Mampir Ngombe]

Kawruho sejatine wong urip
urip mono bebasan mung mampir ngombe
panjeriting wong urip sing ora nduwe
ngupaya bogo direwangi mbanting rogo
mung hasile ora misro, ora sepiro
rino wengi panas udan ora diroso


Sandang pangan kekurangan sarwo
cecingkrangan
Mrono-mrene mung tandah dadi rasanan
nora kuwat, pengen sugih wedi yen kangelan
nuruti godhane setan, malah salah dalan
ngorbanake sedulur ugo katresnan
mburu bondo kadonyan nggolek pesugihan


Ngelingono neng ndonyo amung sedhelo
drajat pangkat bondo donyo bisa onyo
suk yen mati kabeh mau ora digowo


[ Ketahuilah sesungguhnya orang hidup itu ibarat hanya mampir minum, jeritan orang hidup yang tiada punya mencari makan dengan membanting tulang, hasilnya tiada sebanding, tiada seberapa siang malam panas hujan tiada dirasa. Sandang pangan kekurangan serba tidak kecukupan, ke sana kemari hanya jadi omongan tiada tahan, ingin kaya takut hadapi kesulitan menuruti goda setan, malah salah jalan mengorbankan saudara & teman-teman juga cinta memburu harta dunia mencari kekayaan. Ingatlah di dunia ini hanya sejenak saja Derajat pangkat harta dunia bisa sirna besok jika mati semuanya itu tidak dibawa ]

ternyata "urip mung mampir ngombe" itu di plesetkan dalam berbagai tafsiran. Semua bertolak dari kesementaraan hidup yang ada di balik paham "urip mung mampir ngombe" itu. Hidup ini hanya sementara, maka "aji mumpung" pun dimainkan.
Kesementaraan ini mengundang orang memandang bahwa hidup ini tidak penting, dan akan berakhir, hanya surga yang abadi, dan takkan berakhir. Maka kejarlah surga jangan kejar dunia; Vanitas Vanitatum Mundi - kesia sia-an dari ke sia-sia-an dunia.

Kesementaraan itu membuat pemisahan yang radikal antara surga dan dunia, yang fana dan yang baka, yang jelek dan yang baik, yang nista dan yang mulia. Dunia ini akan berakhir, fana, seluruhnya jelek dan nista. Karena hanya surgalah yang abadi, takkan berakhir dan seluruhnya baik serta mulia. Atau karena dunia material ini yang seluruhnya benar dan ada, maka surga spiritual itu seluruhnya tidak benar dan tidak ada?
Mungkin banyak lagi akibat parah dari "urip mung mampir ngombe" dalam pengertian demikian. Tapi mestikah demikian paham itu dimengerti? Bagaimana jika kita tidak membuat pemisahan radikal dari pengertian "urip mung mampir ngombe"; antara kesementaraan dan keabadian; dunia dan surga; kebudayaan siang dan kebudayaan malam. "Urip mung mampir ngombe" tak lagi dimengerti sebagai penyepele-an dunia dan pengagungan surga, pelecehan ke fana-an dan pe-agung-an surga, melainkan sikap untuk tidak terikat apa pun, agar menjadi ciptaan yang sempurna dan bahagia, disini ataupun disana kelak

Apa gunanya meng-agung-kan surga, kalau itu hanya menistakan manusia? Apa gunanya dunia dengan segala isinya, harta dan kekuasaannya, kalau itu memperbudak dan mengikat kita?
Dalam pengertian demikian, "urip mung mampir ngombe" adalah sikap yang dalam istilah rohani disebut "indifference". Kata Muhammad Al-Gazzali; " jangan kau lewati hal-hal di dunia ini, tapi jangan pula kau mencari nya, pahami benar, untuk apa benda - benda ciptaan di dunia ini ada, dan pergunakan ke semua nya sesuai dengan tujuan keberadaannya. " Itulah sikap yang membebaskan.
"Urip mung mampir ngombe" kiranya bukan berarti permusuhan terhadap dunia, atau persekongkolan dengan dunia. Mungkin sikap lepas-bebas itu yang harus dimunculkan dalam hidup sehari - hari. Bukan lagi Vanitas Vanitatum Mundi, tetapi peluang dan kesempatan untuk jadi manusia yang bebas, bahagia dan tak terikat apapun.

fragmentasi dan perenungan dari
Majalah Basis: Urip mung mampir ngombe

0 komentar: