Orang Miskin Dilarang Sakit...!!!


Orang miskin, selalu terhimpit oleh sistem yang membuat mereka terus menerus sakit. Aktor yang menghimpit itu antara lain yakni dokter, rumah sakit, apoteker, orang kaya, perawat, pabrik farmasi, dan pemerintah yang minim perhatiannya terhadap mereka.

Puskesmas yang pada awalnya disediakan untuk masyarakat miskin. Di era otonomi daerah, minimnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kesehatan, menyebabkan pemerintah kabupaten mengeluarkan peraturan daerah menaikkan biaya berobat di Puskesmas. Akibatnya, layanan Puskesmas menjadi mahal. Korbannya, lagi-lagi masyarakat miskin.

Puskesmas memang secara ekonomi tidak menjanjikan kekayaan bagi dokternya. Maka, para dokter enggan ditempatkan di Puskesmas. Mereka hanya mau untuk magang. Kalaupun mereka di Puskesmas, lebih berorientasi klinis daripada lapangan. Para dokter Puskesmas itu lebih berkonsentrasi pada pengobatan saja, dan jarang ingin mengetahui sebab musabab munculnya penyakit yang didapat di lapangan. Sebenarnya Puskesmas tidak harus lagi ditempatkan sebagai pusat layanan kesehatan, melainkan juga pendidikan dan pelatihan bagi penduduk setempat. Ia mencontohkan bagaimana orang miskin memahami sumber penyakit yang ada di sekitarnya. Jika ini bisa dilakukan Puskesmas, orang miskin tidak sekadar dihimbau jangan sakit karena tidak memiliki uang yang cukup untuk berobat. Melainkan mereka juga diarahkan bagaimana agar penyakit itu bisa diketahui, dicegah (preventif), dan disembuhkan.

‘Persekongkolan Tengik’ antara perusahaan farmasi dan dokter yang bertujuan untuk melariskan obat juga untuk keuntungan si dokter. Dalam praktik perdagangan, iklim dagang yang keras membuka praktik-praktik dagang dengan taktik licik. ‘Persekutuan Najis’ itu digalang untuk merugikan pasien dan negara juga demi peroleh untung bagi perusahaan farmasi. Persekutuan itu dilakukan antara lain: dokter ‘diwajibkan’ untuk meresepkan sejumlah obat dari perusahaan farmasi tertentu bahkan si dokter bisa teken kontrak untuk jual beli obat tersebut. Si dokter akan mendapat imbalan sejumlah uang atau seperangkat fasilitas untuk memenuhi kepentingan dokter bahkan apa maunya si dokter dituruti oleh farmasi.

Menyoroti fenomena rumah sakit elite di Jakarta yang tidak peka terhadap kemiskinan yang mendera sebagian besar Bangsa Indonesia. Lihat saja fasilitasnya yang menyerupai hotel dan sewanya per hari jutaan rupiah. Tentu rumah sakit itu hanya untuk orang kaya atau mereka yang berduit. Fasilitas seperti kamar mandi, telepon, televisi, kulkas, dan ruang rapat, semua tersedia di rumah sakit elite itu. Ini berbeda dengan orang miskin yang ‘hanya’ mampu menempati rumah sakit kelas ekonomi yang berdesak-desakan dengan pasien lain, yang tidak jarang beberapa pasien yang penyakitnya berbeda “dikurung” dalam satu bangsal.

Orang Miskin Dilarang Sakit... Predikat miskin bukan lagi sebuah status ekonomi, melainkan telah menjadi virus yang susah sekali ditemukan obatnya. Karena miskin sendiri merupakan bentuk penyakit yang amat sukar disembuhkan. Akses orang miskin pada kesehatan yang sangat terbatas membuat kemiskinan menjadi status ekonomi yang berusia panjang. Kemiskinan dan kesehatan merupakan dua sisi yang kini saling sulit untuk berhubungan, terutama di tengah cengkraman sistem kapitalisme.

Ahmad Nurhasim, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.

0 komentar: