Bibit, Bebet, dan Bobot ???

Fatwa leluhur tersebut bermaksud agar orangtua melaksanakan pemilihan yang seksama akan calon menantunya atau bagi yang berkepentingan memilih calon teman hidupnya. Pemilihan ini jangan dianggap sebagai budaya pilih-pilih kasih, tapi sebenarnya lebih kepada kecocokan multi dimensi antara sepasang anak manusia. Kriteria yang dimaksud yaitu :

Bibit : rupa (harafiah: asal-usul, keturunan/bibit seperti dalam bahasa Indonesia)
Bebet : keluarga, lingkungan, dengan siapa teman2nya.
Bobot : nilai pribadi/diri yang bersangkutan. disini termasuk kepribadian, pendidikan dan kepandaiannya, pekerjaan juga nilai pribadi seperti gaya hidup dan IMAN.

Untuk memilih menantu pria atau wanita, memilih suami atau isteri oleh yang berkepentingan, sebaiknya memilih yang
berasal dari benih (bibit) yang baik, dari jenis (bebet) yang unggul dan yang nilai (bobot) yang berat.

Fatwa itu mengandung anjuran pula, janganlah orang hanya semata-mata memandang lahiriyah yang terlihat berupa kecantikan dan harta kekayaan.
Pemilihan yang hanya berdasarkan wujud lahiriah
dan harta benda dapat melupakan tujuan "ngudi tuwuh" mendapatkan
keturunan yang baik, saleh,berbudi luhur, cerdas, sehat wal afiat, dsb.

CINTA, WASPADA, DAN PERTUNANGAN

Ada peribahasa mengatakan: "cinta itu buta".
Berpedoman, bahwa hidup suami isteri itu mengandung cita-cita luhur yaitu mendapatkan keturunan yang baik, maka janganlah menuruti kata peribahasa tersebut. Pada hakekatnya peribahasa itu sendiri pun mengandung "peringatan".
Memperingatkan, agar dalam bercinta tidak buta
mata hati, mata kepala,dan pikiran.

Cinta kasih yang berhubungan erat dengan cita-cita justru harus diliputi oleh waspada dalam hati dan pikiran.

Waspada akan tingkah kelakuan satu sama lain dan waspada akan penggoda di dalam
hatinya sendiri.
Kewaspadaan itu menghendaki pengamatan dan penghayatan satu sama lain mengenai sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting yang sudah pasti dijumpai dalam hidup antara lain soal keluarga, agama,kemasyarakatan, dan sebagainya.

Perbedaan sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting (prinsip) seperti diatas, niscaya akan mengakibatkan
kesukaran dikemudian hari.
Persesuaian haruslah timbul dari keyakinan dan tidak dengan membohongi diri sendiri, misalnya dengan berjanji atau memberi berkesanggupan dengan sumpah lisan atau tulisan,pernikahan di muka kantor pencatatan sipil, dan lain sebagainya tetapi di dalam hati
masih ada keraguan.

Pertunangan dengan atau tanpa tukar cincin adalah usaha untuk mendekatkan pria dan wanita yang menjalin kisah dan hendak hidup sebagai suami isteri. Pertunangan tidak boleh diartikan
lalu boleh bergaul sebebas-bebasnya hingga perbuatan sebagai suami isteri.

Dalam hal itu calon isteri haruslah teguh hati, mencegah jangan sampai terjamah kehormatannya. Ingatlah, bahwa calon suami atau
istri itu bukan atau belum suami atau istrinya. Sekali terjadi
peristiwa dan sang wanita hamil tidak mustahil menjadi persoalan sebagai pangkal persengketaan.
Kalau sang pria ingkar, pertunangan putus, sang wanita menjadi korban.

0 komentar: