Keris : mahakarya sarat makna


Berbagai sumber menyebutkan, keris sarat dengan makna filosofi. Paling tidak salah satunya ada pemahaman tentang sangkan paraning dumadi, yakni asal manusia lahir dan ke mana tujuan hidupnya.

Hal itu secara simbolis dapat dilihat dari ‘dapur’ yang terdapat dalam keris, mulai keris dapur Pinarak dapur Sengkelat. Untuk dapur Pinarak, dapat diasosiasikan bahwa kehidupan manusia berumur pendek, atau hidup itu ibarat mampir ngombe.

Keris dengan luk (lekukan) satu, itu dapat dimaknai bahwa dalam menjalani kehidupan memiliki liku-liku dan kita berkewajiban mengejar sesuatu yang berisi, tidak sia-sia. Keris dengan luk tiga atau Jangkung, luk Lima atau Pandawa. Bisa dimaknai manusia dilahirkan dengan lima panca indra yang harus selalu diasah agar selalu dalam kebaikan.

Sebagai Contoh : Dilihat dari makna filosofi, keris mPu Gandring sebenarnya bisa juga merupakan sebuah pertanda, pelajaran (peringatan). mPu jaman dahulu adalah orang yang 'di-tua'kan', dianggap memiliki kemampuan lebih, ulama dan pemuka masyarakat. Sedangkan keris, juga merupakan perlambang 'Persatuan'. Baik dari Lingga dan Yoni (Bilah dan Gonjo), Besi dan Pamor, Tempa dan Garap. Keris bisa juga diartikan sebagai 'Mengker Kerana Aris', menahan diri - muncur dengan bijaksana.

Oleh karena itu, Ken Arok memesan keris kepada mPu Gandring sebagai salah satu bekal agar bisa menjadi Raja di kerajaan Singosari, hal ini bisa jadi juga merupakan pelajaran filosofis saja. Pada saat itu, masyarakat Singosari sudah heterogen. Hindu, Budha, pedagang, petani, dsb yang tentu memiliki banyak kepentingan. Agar Ken Arok bisa menjadi Raja, maka dia harus bisa menyatukan berbagai perbedaan kepentingan tersebut. Maka Ken Arok meminta kepada mPu Gandring untuk menyatukan berbagai perbedaan tersebut dan disimbolkan melalui sebilah Keris.

Sayangnya Ken Arok tidak memahami makna 'keris' ; yaitu menahan diri, sabar dan bijaksana. Akhirnya, sebelum keris jadi (yang berarti sebelum perbedaan pandangan tersebut bisa disatukan), Ken Arok tidak sabar untuk segera menjadi Raja. Lantas Ken Arok membunuh mPu Gandring karena dianggap tidak mampu melaksanakan permintaan dan agar dikemudian hari tidak menjadi penghambat. Lalu muncullah Ken Arok sebagai Raja Singosari.

Tetapi tidak lama memerintah, kerajaan Singosari dilanda berbagai pemberontakan, kerusuhan dsb yang diakibatkan karena Ken Arok tidak bisa menahan diri dan masih banyaknya perbedaan pandangan serta kepentingan yang belum menyatu. Akhirnya berbagai kericuhan di Singosari ini pada akhirnya menyebabkan kematian Ken Arok.

Dengan demikian, kita semua perlu hati-hati (khususnya bagi para pecinta keris) agar tidak tertipu dengan berbagai keris yang dikatakan oleh penjualnya sebagai "Keris mPu Gandring".

Mendengarkan Bocah Dalam Diri


Anak-anak, adalah sebuah kekayaan yang amat berharga dalam kehidupan. Mereka tidak hanya penerus kehidupan, dalam dimensi kekinian juga sumber tawa dan canda. Bayangkan, sesuatu bila diucapkan orang dewasa menjadi biasa-biasa saja, namun bila terucap dari mulut bocah, tawa dan bangga mudah keluar.

Sayangnya, tidak demikian halnya dengan bocah di dalam diri kita. Sedikit saja timbul kesalahan, kita mudah sekali menyebut diri kekanak-kanakan. Kita menyebut semua bentuk perilaku kanak-kanak sebagai perilaku yang perlu disembunyikan.

Coba perhatikan pegolf dunia Tiger Wood tatkala baru memperoleh birdie, ia menampilkan perilaku kanak-kanaknya dengan menyatukan siku dengan lututnya. Amati pemain sepak bola yang berhasil merobohkan gawang lawan, ia berlari, berteriak, memeluk semua temannya persis seperti anak-anak. Iklan sebuah telepon seluler menunjukkan, bahkan pemimpin dunia sedingin Margareth Thatcher-pun bisa mempertontonkan perilaku anak-anak di depan umum.

Sebagaimana pernah dikerangkakan melalui analisis transaksional, anak-anak adalah bagian dari diri kita selama kita masih bernafas. Mau dimusnahkan sekalipun, ia akan senantiasa menjadi bagian integral dari tubuh kita.


Bila ditekan, disamping menjadi sumber daya tidak terpakai, ia juga bisa membuat hidup tidak seimbang. Sesuatu yang kerap menjadi awal kecelakaan hidup.

Lebih dari itu, energi kanak-kanak juga menjadi sumber dari kejernihan, kreatifitas, dan kepolosan-kepolosan alami. Coba perhatikan pertanyaan-pertanyaan polos anak-anak di rumah. Bukankah ia teramat jujur? Kendati naif, tidakkah ia menyimpan fundamentalisme hidup? Meskipun lucu, tidak jarang kita dibuat terperanjat oleh pertanyaan-pertanyaan anak-anak.

Setali tiga uang dengan anak-anak di rumah, bocah di dalam diri kita juga sama. Ia sering bertanya, bercanda, menimbulkan tawa, atau kadang sarkastis terhadap diri kita.

Saya sering mentertawai hidung saya yang dulu ditertawai orang. Rambut rontok saya, tidak hanya menjadi bahan tertawaan saya, tetapi juga konsumsi orang lain.

Sebagai hasilnya, lebih dari sekadar tertawa sendiri maupun bersama orang lain, kegiatan mentertawai diri sendiri ini sering menjadi sumber kedewasaan, dan kearifan hidup. Penyakit mudah tersinggung yang menghinggapi saya dulu, pelan-pelan berkurang secara meyakinkan. Kekakuan bergaul dengan orang lain, luntur bersamaan dengan semakin seringnya saya mentertawai diri sendiri. Tidak sedikit uang yang saya peroleh yang bersumber dari imajinasi ala anak-anak. Paradigma anak-anak yang polos dan lentur, tidak hanya mengurangi konflik dengan orang lain, tetapi juga membuat saya semakin kaya secara filsafat.

Karena demikian seringnya bocah dari dalam ini didengar, ia teramat sering menjadi rem etika yang mengagumkan. Di hotel tempat saya sering menginap, ada banyak godaan, namun kanan-kanak saya bertanya : “bukankah kamu menjadi guru buat orang lain?“. Di perusahaan tempat saya bekerja, sering ada peluang uang yang tidak sedikit, tetapi bocah dalam diri ini sering berucap lirih : “bukankah Anda sering berucap di seminar, bahwa etika adalah sesuatu yang Anda lakukan ketika orang lain tidak ada?“.

Bocah ini tidak saja berfungsi menjadi rem. Ia kerap menjadi penyeimbang kehidupan yang mengagumkan. Tatkala badan sudah diperkosa pekerjaan, kanak-kanak di dalam diri permisi untuk diajak teriak-teriak di karaoke, lapangan golf, atau malah di sungai belakang rumah. Ketika mood lagi jenuh, ia mulai merengek untuk diajak bertemu teman yang menimbulkan tawa. Di saat rasa marah muncul, ia meledek saya sebagai orang yang hanya bisa bicara di depan umum tanpa bisa melaksanakan.

Saya tidak tahu bagaimana pengalaman Anda, bagi saya energi kanak-kanak yang tersembunyi dalam diri kita amatlah luar biasa jika dimanfaatkan.

Ada beberapa ciri yang melekat dalam energi yang sering tidak diizinkan untuk muncul ini. Polos, naif, jujur, tidak masuk akal, lucu, egois, adalah sebagian dari ciri-ciri dorongan kekanak-kanakan.

Anda boleh punya cara lain untuk belajar mendengarkan bocah dalam diri Anda. Saya melakukannya dengan beberapa langkah berikut.

Pertama, miliki minimal setengah jam setiap hari untuk meledek atau mentertawakan diri sendiri. Waspadai jangan sampai membuat diri Anda minder.

Kedua, daftar kelucuan, kobodohan dan kekhilapan Anda selama hidup, dan temukan cara untuk mentertawakannya.

Ketiga, luangkan waktu untuk memuaskan anak-anak di dalam diri Anda. Saya melakukannya dengan berkaraoke, berteriak di lapangan golf, mencoret-coret foto orang yang saya tidak suka.

Keempat, setiap kali melihat persoalan - apa lagi saat kepala mampet - tanyalah diri Anda : “bagaimana saya melihat persoalan ini tatkala saya masih anak-anak?“.

Sebagaimana pernah ditulis fisikawan Fritjof Capra dalam The Uncommon Wisdom : “Krishnamurti told with all his charisma and persuasion to stop thinking, to liberate my self from all knowledge, to leave reasoning behind.“

Keberanian untuk berhenti berfikir, meletakkan reason di belakang, membebaskan diri dari semua pengetahuan - yang saya yakin menjadi titik awal dari kreatifitas dan kepekaan kemanusiaan, bisa dilakukan bila kita kembali ke posisi innocent sebagaimana anak-anak. Ini bisa dicapai, bila kita rajin mendengarkan bocah dalam diri.

Remote PC dengan jaringan internet

VNC dapat digunakan untuk remote pc dalam jaringan LAN, WAN atau Internet . software ini biasa digunakan oleh praktisi IT untuk remote PC dari jarak jauh bahkan dari luar negri sekalipun, untuk remote PC dengan jaringan internet kamu, cukup mengetahui ip publik kamu

download file
http://www.realvnc.com/cgi-bin/download.cgi?product=enterprise4

mirror VNC
http://rapidshare.com/files/49552413/RealVNCEnterprise.v4.3.1.zip


tentang VNC coba lo buka http://www.realvnc.com/

ini ada trik yg aku dapat di internet

Pertama download dulu vnc nya td dan buat script batch untuk install :

1. Install.bat
----
Echo Install VNC
Setup.exe
Echo.
pause
Echo Install VNC
"C:\Program Files\ORL\VNC\WinVNC.exe" -install
Echo.
pause
Echo Start VNC service
net start "VNC Server"
Echo.
echo Tunggu sampai selesai Install
pause
---- end

2. Konek ke PC target misal 203.82.???.??? > C:\>net use \\203.82.???.???\IPC$
3. Copy file vnc dari computer target ke remote PC

C:\>xcopy "C:\Program Files\ORL\VNC\*.*" "\\203.82.???.???\c$\Program Files\ORL\VNC\*.*" /r/i/c/h/k/e

4. Export key regedit VNC untuk di copy ke Remote PC target

C:\>regedit /e "C:\vncdmp.reg" "HKEY_LOCAL_MACHINE\Software\ORL"
C:\>regedit /e "C:\vncdmp2.reg" "HKEY_LOCAL_MACHINE\SYSTEM\CurrentControlSet\Services\winvnc"

5. Copy file regedit tadi ke Remote PC

C:\>Copy C:\vncdmp*.reg \\203.82.???.???\c$\*.*.

nah ini mungkin bisa membantu teman2 yg punya pengalaman remote tool antar kota

Rumah dalam Pandangan Orang Jawa


Rumah dalam kebudayaan Jawa dipandang sebagai sesuatu hal yang sangat vital. Karena itu, segala sesuatu yang berkenaan dengan perwujudan rumah senantiasa dirancang dan diperlakukan dengan menggunakan aturan atau pedoman tertentu yang mencerminkan tentang pandangan tersebut.

Bahkan di kalangan masyarakat Jawa terdapat ungkapan lain yang mencerminkan kelengkapan kesempurnaan hidup bagi lelaki Jawa, yaitu bahwa seorang lelaki baru dianggap sempurna kalau sudah memiliki lima syarat, yakni:
1. Wanodya (wanita atau istri),
2. Turongga (kuda) lambang kedudukan,
3. Curiga (keris) lambang keamanan lahir dan batin,
4. Kukila (burung) lambang kesenangan atau hiburan, dan
5. Wisma (rumah) yang dipandang sebagai keberhasilan seseorang. Kelima hal ini, sekaligus menjadi lambang kebanggaan, kehormatan, dan keberhasilan bagi keluarga Jawa.

Menurut tata cara tradisional Jawa, ada anggapan bahwa antara rumah, tanah, dan manusia penghuninya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Orang merasa bersatu dengan rumah dan tanah tempat berdirinya, serta sekaligus merasa bersatu dengan desa tempat menetapnya.

Perasaan kesatuan yang demikian ini menyebabkan rasa aman dan tenteram bagi penghuni. Atas dasar ini, maka orang Jawa menganggap seolah-olah merupakan perwujudan badan jasmaninya, sementara manusia penghuninya merupakan wujud jiwanya, sehingga rumah adalah bagian penting bagi kehidupan seseorang.

Oleh karena itu untuk mendirikan bangunan rumah orang harus memperhatikan benar persyaratannya agar tidak mendatangkan balak atau bahaya bagi para penghuninya kelak

Memiliki rumah merupakan salah satu kebanggaan dan idaman bagi seseorang yang telah berkeluarga. Hal ini antara lain tercermin dalam ungkapan-ungkapan tradisional mereka sebagai berikut:

1. Sak enak-enake urip kumpul ana omahe maratuwa, isih tetep enak urip misah ana omahe dewe (seenak-enaknya hidup berkumpul di rumah mertua, masih tetap enak hidup berpisah di rumah sendiri)

2. Ala-ala lah anggere omahe dewe (jelek-jeiek biar asal rumah sendiri)

3. Pandongaku marang anak putuku supaya mbesok yen wis pada mentas bisa duwem omah dewe (doaku kepada anak cucu agar besok setelah berkeluarga dapat memiliki rumah sendiri)

MENANGKAP MAKNA DIKALA DUKA

MASA-MASA SULIT
Setiap orang dalam perjalanan hidupnya akan selalu berhadapan dengan berbagai kesulitan. Banyak diantara mereka yang berhasil mengatasi masa-masa sulit namun banyak pula yang gagal dan terhempas dari kehidupan. Kesulitan hidup atau masa-masa sulit yang dihadapi setiap orang bisa berbeda-beda demikian juga cara dan kemampuan setiap orang dalam mengatasinya. Sesuatu yang dianggap sangat sulit bagi seseorang belum tentu dirasakan sulit bagi orang lain. Banyak faktor yang mempengaruhi cara dan kemampuan seseorang dalam menghadapi masa-masa sulit yaitu :

a. Cara mempersepsi sumber kesulitan
Sumber kesulitan atau situasi sulit yang sama belum tentu menghadirkan akibat yang sama. Seseorang yang mempersepsi sumber kesulitan/ masa sulit secara berlebihan, maka akan menghadirkan akibat yang lebih buruk. Sedangkan bagi mereka yang mempersepsi sumber kesulitan sebagai sesuatu yang positif maka akan menghasilkan cara dan kemampuan mengatasi kesulitan yang positif pula. Dalam kehidupan ini kita sering berada pada "situasi sulit" bukan karena disebabkan oleh orang lain namun sering kita sendiri yang mencipta kesulitan-kesulitan itu dalam akal dan pikiran kita. Akibatnya kita menjadi orang yang mudah mengeluh dan hidupnya merasa paling sengsara.

b. Kualitas sumber kesulitan
Sumber kesulitan atau situasi sulit yang ekstrim/berlebihan juga dapat menimbulkan masalah bagi yang menghadapinya. Meskipun demikian Tuhan sangat memahami manusia sehingga Tuhan telah membekali pada diri tiap manusia potensi untuk mengatasi masalah sesulit apapun. Beban kesulitan yang berlebihan memang menimbulkan masalah tersendiri baki kita yang memiliki tenaga dan kemampuan yang terbatas, seperti kasus yang menimpa Hasan Kesuma, ia merasa tidak sanggup lagi membayar biaya perawatan istrinya. Ia ingin membuktikan cintanya pada istrinya tapi ia tidak tahu lagi bentuknya seperti apa, ia ingin semuanya segera berakhir tapi tidak tahu bagaimana cara mengahirinya.

c. Nilai-nilai diri
Keyakinan seseorang terhadap nilai nilai tertentu, khususnya yang bersumber dari ajaran Tuhan ternyata sangat mempengaruhi cara dan kemampuan seseorang dalam mengahadapi kesulitan dalam hidupnya. Beberapa ajaran agama yang dapat dijadikan nilai-nilai prinsip dalam menghadapi kesulitan hidup antara lain : Yang dapat dan berhak menentukan / mengatur segalanya hanyalah Allah SWT bukan manusia, manusia harus berusaha sebaik-baiknya namun hasil akhir yang menentukan adalah Allah SWT, setiap manusia dalam hidupnya pasti akan diberi ujian dan cobaan dari Tuhan sebagai bentuk kasih-sayang-Nya terhadap manusia dan untuk menguatkan iman serta untuk mendewasakan hidup manusia, yakin bahwa setiap masalah pasti ada solusinya bila kita mau berusaha.

Masa-masa sulit dan kritis dalam kehidupan seseorang bisa sangat beragam bentuknya, dari yang bersifat fisik, ekonomi, psikologis hingga spiritual. Yang berdimensi fisik misalnya : tiba-tiba mengalami cacat fisik, menderita penyakit yang tidak mungkin disembuhkan. Yang berdimensi ekonomi misalnya : tidak memiliki uang lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, tidak mampu membayar uang sekolah, tidak mampu membayar biaya perawatan di rumah sakit padahal harus segera dilunasi, kehilangan pekerjaan yang menjadi tumpuan hidup. Yang berdimensi psikologis misalnya : kehilangan orang yang sangat dicintai, mengalami bencana yang mendadak, merasa kesepian ditengah keramaian, merasa tidak dihargai dan dicintai. Yang berdimensi spiritual misalnya : pergulatan mencari kebenaran agama dan Tuhan, berada pada situasi genting yang mengancam keselamatan jiwa dsb.

Masih banyak ragam masa-masa kritis yang ada dalam kehidupan manusia, dan semuanya akan menjadi batu ujian bagi manusia untuk meningkatkan kualitas iman dan dirinya. Meskipun demikian, Tuhan yang Maha Pengasih tidak memberikan ujian hanya dalam bentuk kesulitan, duka dan derita tapi ternyata Tuhan juga menjadikan kesenangan, kesuksesan dan keberhasilan juga sebagai bentuk ujian. Betapa banyak manusia yang berhasil menghadapi ujian berupa kesulitan, duka dan penderitaan namun malah gagal ketika diuji dengan kesenangan, kesuksesan dan keberhasilan.


BELAJAR DARI SEJARAH
Kalau kita melihat perjalanan hidup para utusan Tuhan seperti Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad, maka nampak bahwa para kekasih Tuhan itu menjalani hidupnya bukan dimanja oleh Tuhan akan tetapi malah dihadapkan pada situasi sulit seperti penolakan dari ummatnya bahkan keluarganya sendiri, teror psikis maupun fisik, penindasan oleh penguasa, kehilangan orang yang dicintai dsb. Hal yang sama juga dialami oleh para pejuang ajaran kasih Tuhan di era selanjutnya seperti Gandhi (Hindu), Marthein Luther (Protestan) Bunda Theresa (Katolik), Dailama (Budha) dan Malcom X (Islam).

Mereka para penyampai ajaran Tuhan dihadapkan pada berbagai kesulitan dan situasi kritis dalam hidupnya bukan karena Tuhan membenci mereka tapi karena Tuhan mencintai mereka. Berbagai bentuk kesulitan yang diberikan Tuhan kepada mereka dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas diri dan iman mereka. Dengan pemahaman yang positif terhadap berbagai bentuk kesulitan sebagai ujian iman dan bentuk Kasih-Nya maka mereka menjadi manusia yang memiliki daya tahan dan kesabaran yang luar biasa, sehingga akhirnya berhasil menebarkan ajaran Kasih Tuhan kepada ummat manusia bahkan kepada mereka yang pernah memusuhinya.

Para penyampai ajaran kasih Tuhan bukanlah malaikat yang tidak punya rasa. Mereka meskipun utusan Tuhan tapi juga manusia yang merasakan dahaga, lapar, saikit, penderitaan, kekecewaan, memiliki rasa takut dan akan mengalami kematian. Mereka adalah contoh hidup di dunia nyata bukan di dunia hayal dan dongeng. Mereka hidup di dunia seperti yang kita alami, oleh karena itu ajaran dan teladannya pasti bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Keberhasilan mereka menghadapi masa-masa sulit pasti bisa kita tangkap pesan substantifnya agar kita juga dapat memiliki daya tahan dan kesabaran dalam hidup dan tidak pernah kehilangan makna.


TETAP BERNILAI DAN TAK KEHILANGAN MAKNA
Diantara dimensi yang khas pada manusia adalah keinginannya untuk mencari makna. Hampir dalam setiap bukunya Viktor Frankl selalu menceritakan pengalamannya di Kamp Konsentrasi NAZI pada perang dunia II. Dari kegetirannya di penjara dan dalam bayang-bayang pembantaian dengan gas beracun, Frankl mendapat pelajaran bahwa orang-orang yang punya tujuan atau makna dalam hidupnya dapat bertahan dan berkembang bahkan pada situasi yang paling mengerikan sekalipun. Sebaliknya, orang-orang yang tidak menemukan makna dalam hidupnya akan cepat melemah, roboh dan mati karena apatis dan putus asa.

Kalau kita membaca berbagai tulisannya, misalnya dalam buku "Man's Search For Meaning", Frankl meyakinkan kita bahwa agama adalah sumber makna yang tidak pernah kering. Orang-orang yang benar-benar beragama akan menjadi individu yang lebih sabar menghadapi kesulitan dan menanggung derita.

Dalam berbagai teks kitab suci, Tuhan mengkritik sekaligus memberikan gambaran manusia yang cenderung melupakan Tuhan pada saat memperoleh kesenangan dan keberhasilan namun baru menyebut-nyebut nama Tuhan pada saat berada pada ambang kehancuran dan titik nadzir kesulitan. Tuhan pada saat-saat sulit seolah-olah kita paksa harus mau menolong dan melindungi kita, dan pada saat yang lain Tuhan kita campakkan jauh dari kehidupan kita pada saat kita memperoleh sukses dan bahagia.

Meskipun demikian, mengingat Tuhan diambang kehancuran dan titik nadzir kesulitan bukanlah sesuatu yang buruk bila dengannya kita kemudian memperoleh pencerahan diri. Sangat banyak orang yang benar-benar menjadi tercerahkan berawal dari pengalaman rohani mengingat Tuhan pada saat berada di titik terendah kehidupannya. Namun apabila mengingat Tuhan pada saat sulit hanya menjadi peristiwa berulang dan tidak menumbuhkan pencerahan, maka kita seakan dengan sengaja mempermainkan Tuhan.
Kemampuan untuk tetap bernilai dan tak kehilangan makna pada saat mengatasi situasi kritis sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kita memperlakukan Tuhan dalam kebiasaan hidup kita, sejauh mana kita mau membuka lebar-lebar ruang hati kita bagi kehadiran-Nya dan juga dipengaruhi oleh sejauh mana kita memahami Maha Kasih-Nya.

Sawang - sinawang


"melihat rumput tetangga lebih hijau" Kita seringkali mengukur kebahagiaan dari apa yang dimiliki oleh orang lain.
Saat kawan, tetangga atau saudara kita memiliki sesuatu yang kita impikan, sementara kita belum dapat memilikinya, serta merta kita sibuk menghitung nikmat apa saja yang sudah mereka dapatkan. Berlanjut dengan khayalan kita, betapa bahagianya kita jika seperti mereka.

Padahal!, semua manusia tak luput dari masalah. Secara tidak sengaja "melihat rumput tetangga lebih hijau" itu membuat kita kerasukan rasa iri, padahal juga belum tentu orang-orang tersebut senantiasa bahagia.

Semua itu cuma sawang-sinawang! Begitu istilah dalam bahasa Jawanya.
Artinya, kita seringkali melihat kebahagiaan milik orang lain, dan tak jarang merasa diri kita sebagai orang yang menderita.

Menyikapi "melihat rumput tetangga lebih hijau" ini kita memang harusnya juga melihat pada diri kita sendiri selain melihat orang lain, tepatnya ya... "menempatkan diri" atau juga "berkaca pada diri sendiri". Tuhan memberikan sesuatu itu "kelebihan"kan juga ada pengecualiannya, harusnya cukuplah berterima kasih pada-Nya atas apa yang telah diberikan pada kita & perlu di ingat "Tuhan telah Maha Adil" kepada semua cipta'an-Nya, hanya saja cipta'an-Nya tersebut yang kurang merasakan Anugerah ke-Adilan-Nya. tidak pantas kita melihat sisi dunia saja atas ke-Adilan Tuhan.

Islam Kejawen: Beda Kulit Sama Isi

Jakarta – JIE. “Islam dan Kejawen hampir tidak ada bedanya”. Demikian ungkap Ali Sobirin, peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, dalam acara Talkshow Perspektif Progresif, Rabu malam (08/03). Diskusi buku yang diadakan atas kerjasama P3M dengan 103.4 D. Radio FM ini berjalan penuh gelak tawa dan guyonan-guyonan Jawa. Diskusi yang dipandu Muhtadin AR. ini membedah buku berjudul Islam Kejawen karya M. Hariwijaya, Dosen pada Institut Budaya Jawa Yogyakarta.

Kejawen adalah sebuah keyakinan yang dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Sekarang ini, banyak sekali ajaran-ajaran kejawen yang bersinggungan dengan ajaran Islam, di mana kita hampir tidak bisa membedakan antara keduanya.

Menurut kamus bahasa Inggris, istilah Kejawen adalah Javanism, Javaneseness; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam.

Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia ini. Pusat yang dimakusd di sini dalam pengertian ini adalah yang dapat memeberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Kawula lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri secara total selaku hamba terhadap sang pencipta.

Di antara falsafah kehidupan kejawen adalah kawruh bejo yaitu menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan sejati. “seseorang bisa mencapai kawruh bejo harus melalui beberapa tahap yaitu Mulat saliro artinya mawas diri, tahu jati diri pribadi, Tepo saliro yaitu berempati pada nasib orang lain, Nanding pribadi yaitu membandingkan dengan orang lain agar bisa berlomba lebih unggul, Ngukur pribadi yaitu mengukur orang lain dengan pertamanya mengukur diri sendiri, dan Mawas diri yaitu memahami keadaan diri sejujur-jujurnya“. Papar Ali Sobirin.

Lanjutnya, bahwa falsafah Jawa juga berbicara tentang sikap-sikap kepemimpinan yang wajib dijadikan pegangan para pemimpin sehingga bisa menjadi pemimpin yang baik. Falsafah ini terangkum dalam konsep falsafah asta brata yaitu delapan ajaran utama tentang kepemimpinan Jawa yang merupakan petunjuk Sri Rama kepada adiknya, yang akan dinobatkan menjadi raja ayodya. Asta Brata disimbolkan dengan sifat-sifat mulia dari alam semesta yang patut dijadikan pedoman bagi setiap pemimpin.

Lebih jauh, Ali Sobirin menjelaskan “delapan ajaran tersebut adalah Laku hambeging Indro (hujan) yaitu mengusahakan kemakmuran rakyat dan setiap tindakan membawa kesejukan, Yomo (Dewa Yama) yaitu berani menegakkan keadilan menurut hukum yang berlaku, Mendung yaitu menyatukan segala sesuatu agar berguna, adil, memberikan ganjaran berupa hujan dan hukuman dengan petir dan kilat. Suryo (Matahari) yaitu memberikan semangat dan menjadi sumber energi, sabar, tajam, dan terarah dalam bekerja, Chondro (Bulan) yaitu mampu menerangi rakyat yang bodoh dan miskin dengan menampilkan wajah yang sejuk, Maruto (angin) yaitu selalu berada di tengah-tengah rakyat dan memberikan kesegaran. Bumi yaitu mampu menjadi teladan dan landasan berpijak untuk kesejahteraan rakyat, Baruno (Air, Samudra) yaitu berwawasan luas, arif, dan mengatasi masalah dengan bijaksana dan pemaaf laksana air, serta Agni (Api) yaitu memberikan semangat kepada rakyat untuk terus membangun“.

Di antara falsafah Jawa yang lain adalah Sama bedho dono dendho yang berarti egalitarianisme, pluralisme, kesejahteraan, dan menjalankan hukum seadil-adilnya dan Komo arto dharmo mukso yaitu keinginan pada dunia harus dikontrol dan harus digunakan untuk berbakti kepada manusia, dengan begitu bisa mencapai kesempurnaan. Ungkap lulusan UIN Syarif Hidayatullah ini.

Lalu bagaimana Islam melakukan akulturasi dengan ajaran kejawen?. Dalam menerjemahkan konsep-konsepnya, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Oleh karena itu, Islam merupakan unsur penting pembentuk jati diri orang Jawa. Ajaran dan kebudayaan Islam mengalir sangat deras dari Arab dan Timur Tengah sehingga memberi warna yang sangat kental terhadap kebudayaan Jawa.

Islam masuk ke Jawa, menurut Ali Sobirin adalah melalui akulturasi damai karena para pendakwah Islam yang datang ke Jawa adalah para santri ulama dan pedagang bukan para prajurit perang sehingga salah satu prakteknya adalah dengan melakukan perkawinan. Selain itu juga didukung oleh sifat tenggang rasa dari orang Jawa sendiri yang mudah menerima sesuatu dari luar.

Dalam perjalanan sejarahnya agama Islam telah mengubah wajah dan kiblat orang Jawa, namun kuatnya tradisi membuat Islam mau tidak mau harus siap berakulturasi. Wujud akulturasi tersebut menjadi ajaran khas Jawa. Tegasnya.

Sebagai contohnya adalah konsep Isi atau Wadah di mana orang Jawa mempunyai tradisi kumpul-kumpul setelah ada kematian atau kelahiran. Oleh Walisongo tradisi kumpul-kumpul tersebut tidak dihilangkan tetapi isinya diganti dengan membaca ayat-ayat suci al-Qur’an.

Pada kesempatan yang sama, Muhtadin AR memberikan kesimpulan bahwa Kejawen sebenarnya memuat ajaran-ajaran (laku-lampah) sangat luhur yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi ajaran ini seringkali dicitrakan sebagai ajaran mistik yang sesat. Oleh karena itu tantangannya adalah bagaimana mengkompromikan ajaran-ajaran yang luhur tersebut dengan kondisi masyarakat sekarang ini.


[masykur-JIE].

Tuhan dalam Pandangan Orang Jawa : Sebuah Tinjauan Hinduism dan Kejawen

Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”. Ia adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari . Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan “kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari kata “pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali disebut “sweca”.

Sedang wujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata tak dapat menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” ( tak dapat disepertikan). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA. Karena itu kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk) , Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain. Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama seperti dalam ajaran Hindu. Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak nama”.

Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya.
Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan: Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu. Artinya, Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu. Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski bertempat di air keruh. Ceritera tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’ adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang dalam Bhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.

Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah Hinduisme, yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”. Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube”.

Upaya Mencari Tuhan
Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut: Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst. Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa Jawa “tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.

Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya.

Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”. Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman. Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja.
Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi “lingga yoni”. Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.

Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan “yoga” secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan “pranayama” yang merupakan salah satu cara untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama pernafasan” Hasil minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai tahta Sang Hyang Widhi. Ketika memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang Jawa, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus. Konon, ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “heneng” atau “sunya”, tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati” (ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.

Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam diriku”. Karena itulah ketika kita mengawali proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM Atma Tattvatma”, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata “Duh Pangeraningsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman kita jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad, artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.

Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak adalah saudara empat yang merupakan unsur penyerta bayi ketika berkembang dalam kandungan hingga lahir yaitu: darah, lamad, air ketuban dan ari-ari. Ketika manusia lahir ke dunia, dipercaya bahwa keempat saudara inilah yang menjadi pengikut setia dan senantiasa melindungi.). Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk warna “pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma wasana” seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya. Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a i dalam ajaran Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya disebut namanya agar ikut membantu.

Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka, yang tidak mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dst. Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan sini sama saja”. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.

Semua hal yang diterangkan di atas adalah ajaran Hindu. Namun bagi mereka, yang tidak mau berusaha mencari “akarnya” dan tidak mau berlajar Hinduisme, menganggapnya sebagai “agama Jawa”. Dan karena “agama Jawa” tidak ada, maka mereka menempatkannya sebatas faham, yaitu faham “kejawen” dan eksis sebagai aliran kepercayaan.[]

”Spirituality is essentially a journey within. You need no preparations, no luggage to carry - nothing absolutely. What you need is just : LOVE ! And this Love, can only come as an after effect of self-actualization, achieved through the practice of meditative way of life.” - Anand Krishna -



Source: http://gubrakz.gustiasmara.com/

FALSAFAH JAWA, KEJAWEN DAN ISLAM

JAWA dan KEJAWEN seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa, ular-ular (putuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan, khususnya di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo).

Dalam pertunjukan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya" , isi ini tak lain adalah isi dari Kalimat Syahadat.

Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.

Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini di antaranya :

“Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar” : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, yang dilanjutkan dengan,

“Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore” : Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi, mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun islam (yang lima) dan Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno, berarti tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan salat lima waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).

“Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane” : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).

Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan agama, menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.

Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana, hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil, yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhing Kinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh. Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama islam tentu dalam prosesi penguburannya, badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).

Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada masanya.

Ada banyaknya filsafat Jawa yang berusaha diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam mengajarkan agama selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama islam . Sistem politik Aja Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh para dunan..

Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta, Samudra, Dahana dan Bhumi.

1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuh-kembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.

2. Candra (Bulan), yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.

3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan

4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.

5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.

6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.

7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.

8. Bhumi (Bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.

Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.

Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalkan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan “Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni, kena takon ning aja ngrusuhi”. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan, menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.

Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang “The Right Man on the Right Place” (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan “Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana”. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini, sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.

Masih banyak filsafat Jawa yang mungkin, tidak dapat diuraikan satu persatu, terlebih keinginan saya bukan untuk banyak membahas hal ini, mengingat ini bukan bidang saya, namun hanya ingin memberikan suatu wacana umum kepada pembaca, bahwa banyak sekali ilmu yang dapat kita gali dari budaya (Jawa),

Saat ini kebudayaan Jawa, terutama Filsafat Jawa hampir hilang dari kehidupan masyarakat. Kehidupan kita yang cenderung “western” telah mengabaikan filsafat- filsafat Jawa tersebut. Padahal dalam filsafat-filsafat tersebut mengandung ajaran “adiluhung” yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat. Filsafat Jawa pada dasarnya bersifat universal. Jadi filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin mempelajarinya.

Sebelum kita menggali budaya luar terlebih hanya meniru (budaya luar)-nya saja. Dan mohon maaf sebesar-besarnya, dan juga masih sangat banyak filsafat dari berbagai budaya yang ada di Indonesia tercinta ini yang tidak kalah menariknya untuk dibahas. Namun keterbatasan sayalah yang membatasi.

Masih banyak filsafat-filsafat jawa yang lain. Satu hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu daerah bukan berarti kita menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua sebagai wujud pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa kita. Dan juga melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua.. (ingat semboyan bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika”…..) Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup modern tanpa meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya.

Terimakasih.



(di sunting dr berbagai sumber)

Bibit, Bebet, dan Bobot ???

Fatwa leluhur tersebut bermaksud agar orangtua melaksanakan pemilihan yang seksama akan calon menantunya atau bagi yang berkepentingan memilih calon teman hidupnya. Pemilihan ini jangan dianggap sebagai budaya pilih-pilih kasih, tapi sebenarnya lebih kepada kecocokan multi dimensi antara sepasang anak manusia. Kriteria yang dimaksud yaitu :

Bibit : rupa (harafiah: asal-usul, keturunan/bibit seperti dalam bahasa Indonesia)
Bebet : keluarga, lingkungan, dengan siapa teman2nya.
Bobot : nilai pribadi/diri yang bersangkutan. disini termasuk kepribadian, pendidikan dan kepandaiannya, pekerjaan juga nilai pribadi seperti gaya hidup dan IMAN.

Untuk memilih menantu pria atau wanita, memilih suami atau isteri oleh yang berkepentingan, sebaiknya memilih yang
berasal dari benih (bibit) yang baik, dari jenis (bebet) yang unggul dan yang nilai (bobot) yang berat.

Fatwa itu mengandung anjuran pula, janganlah orang hanya semata-mata memandang lahiriyah yang terlihat berupa kecantikan dan harta kekayaan.
Pemilihan yang hanya berdasarkan wujud lahiriah
dan harta benda dapat melupakan tujuan "ngudi tuwuh" mendapatkan
keturunan yang baik, saleh,berbudi luhur, cerdas, sehat wal afiat, dsb.

CINTA, WASPADA, DAN PERTUNANGAN

Ada peribahasa mengatakan: "cinta itu buta".
Berpedoman, bahwa hidup suami isteri itu mengandung cita-cita luhur yaitu mendapatkan keturunan yang baik, maka janganlah menuruti kata peribahasa tersebut. Pada hakekatnya peribahasa itu sendiri pun mengandung "peringatan".
Memperingatkan, agar dalam bercinta tidak buta
mata hati, mata kepala,dan pikiran.

Cinta kasih yang berhubungan erat dengan cita-cita justru harus diliputi oleh waspada dalam hati dan pikiran.

Waspada akan tingkah kelakuan satu sama lain dan waspada akan penggoda di dalam
hatinya sendiri.
Kewaspadaan itu menghendaki pengamatan dan penghayatan satu sama lain mengenai sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting yang sudah pasti dijumpai dalam hidup antara lain soal keluarga, agama,kemasyarakatan, dan sebagainya.

Perbedaan sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting (prinsip) seperti diatas, niscaya akan mengakibatkan
kesukaran dikemudian hari.
Persesuaian haruslah timbul dari keyakinan dan tidak dengan membohongi diri sendiri, misalnya dengan berjanji atau memberi berkesanggupan dengan sumpah lisan atau tulisan,pernikahan di muka kantor pencatatan sipil, dan lain sebagainya tetapi di dalam hati
masih ada keraguan.

Pertunangan dengan atau tanpa tukar cincin adalah usaha untuk mendekatkan pria dan wanita yang menjalin kisah dan hendak hidup sebagai suami isteri. Pertunangan tidak boleh diartikan
lalu boleh bergaul sebebas-bebasnya hingga perbuatan sebagai suami isteri.

Dalam hal itu calon isteri haruslah teguh hati, mencegah jangan sampai terjamah kehormatannya. Ingatlah, bahwa calon suami atau
istri itu bukan atau belum suami atau istrinya. Sekali terjadi
peristiwa dan sang wanita hamil tidak mustahil menjadi persoalan sebagai pangkal persengketaan.
Kalau sang pria ingkar, pertunangan putus, sang wanita menjadi korban.